PADA suatu acara buka
puasa bersama tokoh-tokoh masyarakat, termasuk para pensiunan pegawai
negeri sipil dan anggota Legiun Veteran Republik Indonesia dalam bulan
Ramadhan tahun lalu,
Gubernur Nur Alam meradang. Ia menyebut
banyak investor saat mengurus perizinan menyatakan kesiapan membangun industri pengolahan nikel (smelter) di berbagai tempat di
Sulawesi Tenggara. Akan tetapi semuanya bohong besar. Sampai sekarang, lanjutnya, kesiapan itu tak terealiasikan.
Tercatat tidak kurang dari 449 izin
usaha pertambangan nikel yang telah diterbitkan pemerintah daerah
kabupaten. Bulan puasa (Ramadhan) tahun ini hampir tiba lagi. Namun,
belum satu pun di antaranya yang melaksanakan komitmennya membangun
smelter. Di lain pihak, ekspor bijih nikel (
ore, row material) dilaksanakan dengan sangat gencar.
Ore mengalir deras ke negeri China, tanpa hambatan sedikitpun. Hampir setiap hari
ada kapal yang mengangkut nikel bergerak keluar meninggalkan pantai Sulawesi Tenggara.
Intensitas tinggi tersebut menjelaskan bahwa para pemilik izin usaha pertambangan nikel di
Sulawesi Tenggara sedang berlomba menambang dan mengekspor bijih
oresebelum
deadline larangan
ekspor mineral mentah tahun 2014. Harga nikel yang cenderung menurun di
awal tahun ini tidak menghambat laju ekspor barang mentah tersebut.
Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di
Sulawesi Tenggara
sebaiknya melakukan evaluasi tumpukan izin usaha pertambangan yang
tidak segera ditindaklanjuti para pengusaha. Langkah itu perlu agar Sulawesi Tenggara tidak tersandera dua kali.
Gubernur Nur Alam
telah dengan susah payah membujuk bahkan sampai menekan PT Inco agar
mau “melepaskan” sebagian besar wilayah konsesi nikelnya di Sulawesi Tenggara.
Tujuannya adalah agar lahan konsesi yang luasnya kurang lebih 65.000
hektar dan tidak diolah selama hampir 40 tahun, dapat dimanfaatkan
investor lain sehingga segera menghasilkan sebagai sumber ekonomi nyata
bagi daerah dan masyarakat Sulawesi Tenggara.
Akan tetapi, jika investor dimaksud juga
tidak beraktivitas sesuai komitmennya bahwa dia akan membangun industri
pengolahan, maka nasib lahan-lahan tersebut akan kurang lebih sama saja
ketika masih dikuasai sepenuhnya PT Inco. Bahkan, kondisinya lebih
parah karena lahan nikel itu telah tergusur tanpa menghasilkan nilai
tambah yang berdampak pada perluasan lapangan kerja dan peningkatan
kesejahteraan terutama bagi warga masyarakat di sekitar lokasi
pertambangan.
Para pengusaha pemegang izin usaha pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara
terlihat agak lambat merebut peluang investasi industri nikel.
Sebaliknya, investor di daerah lain lebih cekatan. Para investor
tersebut kini tengah bergerak menyiapkan pembangunan smelter di Jawa
Timur dan Sulawesi Selatan. Pabrik tersebut akan mengandalkan pemasokan
bahan baku antara lain dari Sulawesi Tenggara.
Contohnya adalah PT Bumi Modern Sejahtera. Group PT Modern
International Tbk itu dikabarkan akan membangun tiga unit smelter
berkapasitas masing-masing 110.000 ton. Salah satunya dibangun di Palopo
yang terdekat dengan sentra-sentra tambang nikel di Konawe Utara.
Perkembangan tersebut kurang
menguntungkan daerah dan masyarakat Sulawesi Tenggara. Sebab, itu
berarti provinsi ini tidak maju-maju dari perannya sebagai pemasok
bahan mentah belaka. Masyarakat setempat hanya menyaksikan lahannya
digali kemudian diangkut ke provinsi lain untuk diolah dalam berbagai
produk bahan baku industri lanjutan dari mineral nikel itu. Lahan bekas
tambang juga menyisakan kerusakan lingkungan. Tidak bisa lagi digunakan
untuk pertanian karena pengusaha tambang tidak melaksanakan kewajiban
menghutankan kembali sebagaimana mestinya.
Harus diakui,
banyak
juga kendala yang dihadapi para pemilik izin usaha pertambangan yang
sedang dan akan beroperasi di Sulawesi Tenggara. Antara lain status
lahan nikel yang berlokasi di kawasan hutan lindung (konservasi), status
lahan belum jelas karena masih dalam penguasaan investor lain, dan
sebagainya. Sejauh menyangkut hutan konservasi memang lambat urusannya
karena Kementerian Kehutanan masih menggunakan kacamata kuda, terikat
peraturan perundang-undangan yang dibuat sendiri bersama
DPR.
Hutan konservasi hanya boleh dimanfaatkan kandungan mineralnya jika
statusnya itu diubah menjadi hutan produksi atau areal peruntukkan lain
melalui keputusan menteri, atau melalui mekanisme pinjam pakai. Kedua
mekanisme tersebut membutuhkan waktu lama dan tentu saja juga biaya
besar untuk suap.
Hutan konservasi adalah simbol budaya
negara industri yang lebih arif merawat kelestarian lingkungan dibanding
kita, Indonesia. Namun, hutan konservasi itu tidak terkesan akan
disimpan di lemari es. Mereka tidak pakai kacamata kuda. Mereka
berpikir kreatif, rasional, ekonomis, dan produktif.
Lihat cara Australia memanfaatkan kandungan mineral di bawah lantai hutan konservasi. Di Kota Perth, ibu kota negara bagian
Australia Barat
terdapat tambang bauksit terbesar di dunia. Cadangan mineral bahan
aluminium itu berlokasi di sebuah hutan konservasi.. Status hutan
tersebut tidak diubah yang prosesnya bisa menimbulkan kendala
birokratis.
Seperti dijelaskan Ir H Buhanuddin,
pejabat di lingkup Dinas Energi & Sumber Daya Mineral Provinsi
Sulawesi Tenggara, teknis penambangan dilakukan dengan sistem blok.
Dalam satu blok luasnya 40 hektar. Setiap blok dieksploitasi hingga
bauksitnya habis. Blok ini kemudian direklamasi dan ditanami kembali
dengan pohon yang sama (asli) saat digusur pertama. Setelah pekerjaan
rehabilitasi selesai, baru kegiatan penambangan melangkah ke blok
berikutnya. Dengan demikian, ketika tiba giliran blok terakhir, maka
hampir seluruh kawasan hutan konservasi sudah dalam keadaan seperti
sediakala.
Ir Haji Burhanuddin, Kepala Bidang Mineral, Batubara dan Panas Bumi Dinas ESDM Provinsi
Sultra
Di tengah belantara izin usaha
pertambangan, tercatat hanya tiga perusahaan yang tampak serius
melakukan persiapan untuk membangun smelter. Ketiga perusahaan itu
adalah Trio Tinto dari Australia, Jien Group, dan Jilin Horoc Metal
Group Co Ltd. Kedua yang terakhir ini adalah perusahaan dari China yang
digandeng PT Billy Indonesia.
Jien Group, misalnya, kini telah
menyiapkan lokasi pabrik feronikel di Mala Pulu, Kabaena. Pabrik
tersebut berkapasitas 100.000 ton per tahun, atau empat kali lebih besar
dari pabrik serupa di Pomalaa milik PT Aneka Tambang Tbk. Konstruksi
pabrik Mala Pulu saat ini sedang dirakit di China.
Industri nikel tersebut merupakan proyek
investasi yang cukup besar. Pasalnya, semua infrastruktur harus
dibangun sendiri investor. Power plant atau instalasi tenaga listrik,
misalnya, akan disediakan sendiri. Karena itu, melakukan investasi di
daerah dengan kondisi infrastruktur nol besar seperti di Sulawesi
Tenggara – apalagi Kabaena yang terpencil itu – merupakan suatu
keberanian mengambil risiko yang luar biasa. Investor seperti itu pasti
bukan hanya untuk mengejar profit belaka tetapi tentu juga memiliki
idealisme untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan daerah.
Sebab kalau cuma bermotif bisnis saja,
Jakarta dan Jawa umumnya telah menyediakan sarana dan fasilitas
kemudahan sangat memadai. Investor hanya berkonsentrasi membuat
produksi, tidak perlu membuang modal untuk membangun infrastruktur.