BANYAK calo tambang nikel, dan atau kacung pemilik modal beroperasi di Sulawesi Tenggara. Ada juga memang pengusaha profesional yang telah, sedang, dan akan mengeruk nikel Sulawesi Tenggara.
Dalam aksinya para calo alias kacung berkedok sebagai pengusaha atau
calon investor tambang nikel yang bonafide. Akibatnya, kita sulit
membedakan mana emas mana loyang. Kecuali pengalaman sebagaimana
diungkapkan seorang teman seperti berikut: Bila Anda mencari kantor
mereka di Jakarta, Anda pasti kecewa. Sebab para investor itu tidak
punya kantor. Kalaupun ada, tidak lebih dari ruko (rumah toko) bercat
kusam. Investornya juga belum tentu ada di situ. Biasanya mereka
mengajak ketemu di restoran mewah, apalagi jika Anda seorang pejabat.
Jika Anda pejabat terkait, semisal, bupati atau Kepala Dinas Energi dan
Sumber Daya Mineral, wanita cantik pun disediakan, disodorkan pula mobil
mewah dan sebagainya.
Begitulah! Bagi calo, penampilan
adalah modal utama. Tentu saja dalam batas-batas tertentu. Mereka juga
tidak mungkin mampu menyewa pesawat terbang buat sekadar mengelabui.
Apalagi memiliki pesawat pribadi. Tidaklah, jauh kasi(h)an!
Gubernur Sulawesi Tenggara H Nur Alam SE
MSi kecele juga dengan para investor tambang nikel. Kamis tanggal 25
April 2013, sekitar pukul 10.00 Wita, dia mendarat di Bandara Haluoleo
dengan pesawat Lion dari Makassar. Sebelum mendarat, dalam benaknya
terbayang apron Bandara Haluoleo penuh dengan pesawat pribadi atau
carteran. Pasalnya, di sebuah hotel mewah di Kota Kendari saat itu
sedang berkumpul hampir seratusan investor tambang nikel dalam rangka
pertemuan gubernur, bupati dan walikota penghasil nikel se-Indonesia;
Rakernas Asosiasi Dinas Pengelola Energi dan Sumber Daya Mineral
se-Indonesia; dan pertemuan tahunan pengelola Energi dan Sumber Daya
Mineral se-Sultra.
Bukan hanya itu. Seremoni pembukaan acara tersebut dirangkaikan
penandatanganan prasasti pembangunan tujuh pabrik pengolahan nikel yang
akan segera diwujudkan di Sultra oleh para investor.
Dalam bayangan Gubernur Nur Alam,
tidak perlu seluruhnya tetapi sebagian kecil saja para pengusaha
pertambangan tadi membawa pesawat pribadi atau carteran, Bandara
Haluoleo pasti kepadatan pesawat. Perkiraan tersebut tidak berlebihan.
Sebab nilai investasi yang diajukan melalui proposal para pengusaha tadi
mencapai milyaran dollar Amerika Serikat. Namun apa yang terjadi? “Di
bandara cuma ada dua pesawat helikopter dan satu pesawat jet komersial”,
tutur Nur Alam
saat membuka pertemuan tersebut. Sindiran gubernur disambut gerr
peserta pertemuan, termasuk para pengusaha yang seharusnya merasa
terpukul.
Pertemuan di Swissbel Hotel
dihadiri Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo dan sejumlah pejabat
eselon I terkait. Bupati dan walikota se-Sultra hadir semua, kecuali Bupati Kolaka Utara Rusda Mahmud dan Bupati Wakatobi Hugua. Pertemuan ini dimanfaatkan betul oleh Gubernur Nur Alam
untuk bicara blak-blakan soal perambahan nikel secara brutal di
daerahnya. Bupati dan pengusaha menjadi sasaran, bahkan juga kebijakan
Kementerian ESDM tidak luput dari sorotan Gubernur Sultra tersebut.
Banyak penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya mineral nikel di Sulawesi Tenggara.
Pemicunya adalah otonomi daerah yang memberi kewenangan bupati dan
walikota mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP). Terdorong untuk
menggendutkan pundi-pundi pendaptan asli daerah (PAD), para bupati dan
walikota memanfaatkan betul kewenangn itu dan tanpa berkoordinasi
dengan gubernur sebagai wakil pemerintah. Menurut Gubernur Nur Alam,
proses perizinan di kabupaten super lancar. “Ada pengusaha memperoleh
izin hanya dalam tempo lima menit”, ujarnya dengan sinis. Keterangan
gubernur ini makin menguatkan kesimpulan dan menjadi target operasi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa salah satu episentrum praktik
korupsi di Indonesia adalah sektor pengelolaan sumber daya alam.
Pengelolaan SDA menjadi ladang para kepala daerah untuk menghimpun dana
untuk memperkaya diri dan pengumpulan dana politik dalam rangka pilkada.
Dua episentrum korupsi lainnya adalah lembaga penguasa (power) yang
memiliki kekuasaan membuat kebijakan, dan pusat perputaran uang mulai
dari hulu di institusi perpajakan hingga hilir yaitu APBN dan APBD.
Bupati di Sulawesi Tenggara
tidak sekadar hanya menerbitkan IUP tetapi ada juga yang terlibat
langsung dalam perambahan nikel. Bentuk penyimpangan yang dilakukan,
kata Gubernur Nur Alam,
antara lain pemberian IUP pada kawasan hutan lindung dan hutan
konservasi. Penyimpangan itu tidak bisa dihentikan dan dikontrol siapa
pun karena bupati merasa lebih berkuasa di daerahnya sesuai
perundang-undangan menyangkut otonomi daerah.
Tidak jarang juga muncul IUP palsu. Tetapi anehnya, papar Gubernur Nur Alam,
pemegang IUP palsu bisa dimenangkan hakim Peradilan Tata Usaha Negara.
Ini berarti, hukum bukan lagi otoritas negara untuk menertibkan
kehidupan masyarakat tetapi telah menjadi komoditas dan alat transaksi
bagi kepentingan pribadi. Mengenai izin di lokasi hutan lindung dan
konservasi dikatakan, permainannya sama dengan izin Kehutanan untuk
pengolahan kayu. Dalam izin tertera wilayah operasi berlokasi di hutan
produksi. Tetapi dalam praktik, penebangan kayu dilakukan di kawasan
hutan lindung dan konservasi.
Penyimpangan tidak hanya
menyangkut perizinan melainkan juga dalam hal pengangkutan bijih nikel
(ore). Umumnya penambang tidak menyiapkan jalur jalan khusus. Mereka
menggunakan jalur-jalur jalan pemerintah. Penggunaan ruas-ruas jalan
negara tersebut dengan sendirinya menimbulkan risiko kerusakan. Soal
lain adalah pelabuhan. Masalah ini dianggap remeh sehingga hampir tidak
ada pengusaha yang membangun pelabuhan khusus sesuai ketentuan.
Di Sulawesi Tenggara
saat ini tercatat 449 IUP. Namun, pemegang IUP yang “serius” baru tujuh
perusahaan yang tadi menandatangani prasasti bersama Wamen ESDM dan
Gubernur Sultra. Kata serius saya beri tanda kutip karena persiapan fisik pembangunan pabrik di lapangan belum nampak, kecuali PT Kembar Emas Sultra
yang disebutkan telah mulai membangun fundasi bangunan pabrik.
Persiapan awal itu dipamerkan secara visual di salah satu sudut hotel
tempat pertemuan berlangsung. Di situ ada juga maket pabrik nikel
berhiaskan lampu dalam kotak. Maket ini milik PT Cinta Jaya. Pemilik
kedua perusahaan tersebut adalah pengusaha lokal Kendari (Guntur alias
George Hutama Riswantyo) dan Makassar (HM Yunus Kadir). Dua pesawat
heli yang sedang parkir saat Gubernur Nur Alam mendarat tadi adalah milik Pak Haji Yunus. Dia memang salah satu pengusaha terkemuka di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Di atas maket PT Cinta Jaya tampak
menggantung sebuah desain pabrik nikel di Kabaena milik PT Jien Smelting
Indonesia. Desain itu menggambarkan sebuah kompleks industri nikel yang
cukup mewah di daerah terpencil, Kabupaten Bombana, itu. Namun,
sekali lagi itu baru desain, belum mencerminkan fakta riil di lapangan.
Izin ekspor nikel ore bakal berakhir tujuh bulan lagi dari sekarang,
tepatnya 31 Desember 2013. Apakah pemerintah (Kementerian ESDM) akan
masih mau lagi didikte para pemegang IUP nikel sehingga ketentuan
larangan ekspor ore ditabrak terus. Jawabannya tergantung tawaran yang
diajukan kedua belah pihak. Yang penting tak terendus KPK.
Tawaran Gubernur Nur Alam
lebih realistis. Menurut gubernur, ekspor ore bisa saja diteruskan oleh
para pengusaha pemegang IUP yang secara riil di lapangan telah memulai
pembangunan pabrik (smelter). Hitung-hitung hasil ekspor nikel mentah
itu bisa dipakai untuk lebih memperlancar pembangunan pabrik. Kebijakan
ini (perpanjangan izin ekspor ore) harus dibuat transparan antara lain
dengan melibatkan gubernur dan bupati. Syarat-syarat ekspor seperti clear and clean ditiadakanah karena itu sangat bernuansa KKN. Syarat clear and clean tidak melibatkan kepala daerah. Padahal yang paling tahu sebuah lokasi tambang itu clear and clean
dari tumpang tindih IUP, tumpang tindih izin usaha perkebunan, tumpang
tindih status hutan dan sebagainya adalah bupati dan gubernur.
No comments:
Post a Comment